Sunday, November 30, 2008

Biografi IMAM MALIK dan IMAM HANAFI

Biografi Imam Malik dan Imam Hanafi

1. IMAM MALIK
Imam Malik (Madinah, 94 H/715 M – 179 H/795 M). Pendiri Madzhab Maliki, imam dan mujtahid yang ahli di bidang fikih dan hadits.
Nama lengkapnya ketika kecil adalah Abu Abdullah Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amir bin Amr bin Harits bin Gainian bin Kutail bin Amr bin Haris Al-Asbahi. Malik bin Anas sejak lahir sampai wafatnya berada di Madinah. Ia tidak pernah meninggalkan kota Madinah kecuali untuk menunaikan ibadah haji ke Mekkah. Madinah ketika itu merupakan pusat berkembangnya sunah atau hadits Rasulullah SAW, dan ia sendiri menjadi salah seorang periwayat hadits yang masyhur.
Dalam hal penerimaan hadits, ia hanya menerima hadits dari orang yang memang dipandang ahli hadits dan orang yang terpercaya (siqah). Ia pun hanya menerima hadits yang matannya (redaksi atau kandungannya) tidak bertentangan dengan Al-Qur’an. Dalam hal periwayatan hadits, ia hanya meriwayatkan hadits-hadits yang makruf dan mensyaratkan juga matan hadits tersebut sejalan dengan penduduk Madinah.
Guru dan sekaligus menjadi penerimaan hadits Imam Malik adalah Nafi’ bin Abi Nu’aim, Ibnu Syihab Az-Zuhri, Abul Zinad, Hasyim bin Urwa, Yahya bin Sa’id Al-Ansori, dan Muhammad bin Munkadir, gurunya yang lain adalah Abdurrahman bin Hurmuz, seorang tabiin ahli hadits, fikih, fatwa dan ilmu berdebat. Adapun murid-muridnya antara lain : As-Syaibam, Imam Syafii, Yahya bin Yahya Al-Andalusi, Abdurrahman bin Kasim di Mesir, dan Asad Al-Furat At-Tumsi.
Buku karangan Malik bin Anas adalah Al-Muwatta’. Buku ini adalah buku hadits dan sekaligus buku fikih karena berisi hadits-hadits yang disusun sesuai bidang-bidang yang terdapat dalam buku fikih. Dikatakan bahwa hadits-hadits yang terdapat dalam kitabn Al-Muwatta’ ini tidak seluruhnya musnad (hadits yang bersambung sanadnya) karena disamping hadits, di dalamnya terdapat fatwa para sahabat dan tabiin. Kitab Al-Muwatta’ ini mulai ditulis oleh Malik bin Anas pada masa khalifah Al-mansur (137H/754M – 159H/775M) dan selesai penulisannya pada masa khalifah Al-Mahdi (159H/775M – 169H/785M). Khalifah Harun Al-Rasyid (170H/786M – 194H/809M) berusaha menjadikan kitab ini sebagai kitab hukum yang berlaku untuk umum pada masanya, tetapi Malik bin Anas tidak menyetujuinya.
Imam Malik tidak mau ikut campur dalam hal politik. Akan tetapi, ketika ia diminta memberi fatwa tentang bai’at yang diberikan secara paksa, ia menyatakan bahwa bai’at semacam itu tidak sah. Bai’at yang dimaksud itu adalah bai’at Khalifah Abasiyah. Al-Mansur, yang menurut kelompok syiah dipaksakan kepada umat. Bagi kelompok syiah, fatwa Malik bin Anas ini dijadikan pendorong dalam menentang kekuasaan Abasiyah di Madinah. Peristiwa yang terjadi tahun 147 Hijriyah ini menyebabkan Malik bin Anas ditangkap dan disiksa, ketika musim haji tiba Al-mansur mengunjungi Imam Malik dan memohon kepadanya atas perlakuan petugas yang ada di Madinah. Imam Malik kemudian dibebaskan dan khalifah Al-Mansur dan memohon kepadanya untuk mengumpulkan hadits-hadits Rasulullah agar dapat dijadikan pegangan umat, pada mulanya Imam Malik memang keberatan tetapi akhirnya melaksanakan juga. Sebagai hasilnya, tercipta kitab Al-Muwatta’ seperti telah disebutkan diatas.
Pemikiran Imam Malik dibidang hukum Islam atau fikih sangat dipengaruhi oleh lingkungannya. Madinah sebagai pusat timbulnya sunah Rasulullah SAW dan sunah sahabat merupakan lingkungan kehidupan Imam Mali sejak lahir sampai wafatnya. Oleh sebab itu, pemikiran hukum Imam Malik banyak dipengaruhi dan berpegang pad sunah-sunah itu. Kalau terjadi perbedaan antara satu sunah dengan sunah yang lain, maka ia berpegang pada tradisi yang berlaku di masyarakat Madinah. Menurut pendapatnya, tradisi masyarakat Madinah ketika itu berasal dari tradisi para sahabat Rasulullah SAW yang dapat dijadikan sumber hukum. Kalau ia tidak menemukan dasar hukum dalam Al-Qur’an dan sunah maka ia memakai qiyas dan maslahah al-mursalah (maslahat atau kebaikan umum).
Berdasarkan pendapat Imam Malik tersebut, dasar-dasar hukum yang berlaku dalam madzhab Maliki adalah sesuai dengan urutan berikut :
1. Al-Qur’an
2. As-Sunah
3. Sunah Sahabat
4. Tradisi masyarakat Madinah
5. Qiyas
6. Al-Mashlahah al-mursalah
Madzhab Maliki timbul dan berkembang di Madinah kemudian tersiar di sekitar Hedjaj. Di Mesir, madzhab Maliki sudah mulai muncul dan berkembang selagi Imam Malik masih hidup. Diantara yang berjasa mengembangkannya adalah para murid Imam Malik sendiri :
1. Abdul Malik bin Habib As-Sulami
2. Isma’il bin Ishak
3. Asyhab bin Abdul Aziz Al-kaisy
4. Abdurrahman bin Kasim
5. Usman bin Hakam
6. Abdurrahim bin Khalid
Selain di Mesir, madzhab Maliki juga banyak dianut oleh umat Islam yang berada di Maroko, Tunisia, Tripoli, Sudan, bahrain, Kuwait, dan daerah Islam lain di sebelah barat, termasuk Amdalusia. Filsuf Ibnu Rusyd yang di dunia barat dkenal sebagai Cominentator dari Aristoteles termasuk pengikut imam Malik, sementara di dunia Islam sebelah timur, madzhab Maliki ini kurang berkembang





2. IMAM HANAFI

A. Tahun dan tempat kelahiran serta sililah Imam Hanafi

Menurut riwayat yang paling masyhur, Imam Hanafi dilahirkan di kota Kufah pada tahun 80 H (699 Masehi). Nama beliau yang sebenarnya adalah Nu’man bin Tsabit bin Zautha bin Mah. Ayah beliau merupakan keturunan dari bangsa Persi (Kabul-Afghanistan), setapi sebelum beliau dilahirkan, ayah beliau telah pindah ke Kuhaf. Jadi dapat disimpulkan bahwa beliau bukanlah keturunan dari bangsa Arab asli, melainkan keturunan bangsa Ajam (bangsa selain Arab), dan beliau dilahirkan ditengah-tengah keluarga bangsa Persia. Pada masa beliau dilahirkan, pemerintahan islam sedang berada dalam kekuasaan Abdul Malik bin Marwan (Raja dari Banu Umayah ke V).
Menurut salah satu riawayat disebutkan bahwa ayah beliau sewaktu kecil pernah diajak ziarah kepada Ali bin Abi Thalib oleh ayahnya yang bernama Zautha , dan di do’akan oleh sayidina Ali : “Mudah-mudahan dari keturunannya ada yang akan menjadi orang dari golongan orang-orang baik dan berbudi luhur”.
Gelar “Abu Hanifah” beliau peroleh setelah dikaruniai beberapa orang putera, dan diantara putranya itu ada yang diberi nama Hanifah. Namun menurut riwayat yang lain disebutkan bahwa gelar Abu Hanifah diberikan karena beliau adalah seorang yang rajin beribadat kepada Allah dan sungguh-sungguh menjalankan kewajibannya dalam beragama. Dalam Bahasa Arab perkataan “Hanif” mengandung arti “Cenderung atau Condong” kepada agama yang benar. Ada pula dalam riwayat lain disebutkan bahwa gelar Abu Hanifah beliau peroleh karena eratnya berkawan dengan tinta, sebab dalam lughat Iraq bahwa arti kata “Hanifah” adalah dawat atau tinta, karena kemanapun belia pergi selalu membawa tinta guna menncatat ilmu pengetahuan yang beliau dapatkan dari para guru atau sumber lainnya.

B. Pribadi dan keluhuran budi Imam Hanafi

Disebutkan dalam satu riwayat mengenai kedaan fisik dan kejiwaan Imam Hanafy adalah sebagai berikut :
Imam Hanafy memiliki bentuk tubuh yang tegap, tingginya sedang, dan terbayang dalam mukanya suatu sifat yang kekerasan dalam hati sanubarinya, fikirannya cerdas dan memiliki cita-cita yang luhur.
Apabila beliau berkata selalu dengan perkataan yang lembut dan manis, karena lidahnya yang fasih dan kemerduan suaranya dalam menyerukan ajaran agama islam, beliau juga adalah seorang yang peramah, rajin bekerja dan tidak pernah bercakap-cakap hal-hal yang tidak bermanfaat.
Tentang keluhuran budi Imam Hanafy, selain seperti apa yang telah disebutkan diatas, juga terdapat kutipan perkataan beliau yaitu :
“Mudah-mudahan Allah mengampuni kepada barang siapa yang yang mengatakan kepadaku dengan kebencian, dan mudah-mudahan Allah mengasihani kepada barang siapa yang mengatakan kepada diriku dengan kebaikan”

C. Para guru Imam Hanafi
Menurut para ahli sejarah bahwa diantara para guru Imam Hanafy yang terkenal adalah :
1. Anas bin Malik
2. Abdullah bin Harits
3. Abdullah bin Abi Aufa
4. Watsilah bin Al-Asqa
5. Ma’qil bin Ya’sar
6. Abdullah bin Anis
7. Abu Thafail (Amir bin watsilah)
Adapun para ulama yang pernah beliau datangi untuk dipelajari ilmu pengetahuannya sekitar 200 orang yang kebanyakan dari mereka adalah dari golongan thabiin (orang-orang yang hidup dimasa kemudian setelah para sahabat Nabi), diantara para ulama yang terkenal itu adalah : Imam Atha’ bin Abi Rabbah (wafat tahun 114 H) dan Imam Nafi’ Maula Ibnu Umar (wafat tahun 117 H).
Sedangkan ahli fikih yang menjadi guru beliau yang paling terkenal adalah Imam Hammad bin abu Sulaiman (wafat tahun 120 H), Imam Hanafy berguru ilmu fikih kepada beliau dalam kurun waktu 18 tahun.
Para guru Imam Hanafy yang lainnya adalah : Imam Muhammad Al-Baqir, Imam Ady bin Tsabit, Imam Abdurrahman bin Hamzah, Imam Amr bin Dinar, Imam Manshur bin Mu’tamir, Imam Syu’bah bin Hajjaj, Imam Ashim bin Abin Najwad, Imam Salamah bin Kuhail, Imam Qatadah, Imam Rabi’ah bin Abdurrahman, dll.

D. Cara Imam Hanafi dalam memberikan pengajaran
Imam Hanafy dalam memberikan pengajaran kepada murid-muridnya yang telah dewasa ialah dengan menekankan agar murid-muridnya dapat lebih kritis dan dewasa dalam berfikir, tidak hanya menitik beratkan kepada apa yang telah beliau jelaskan saja, dengan maksud agar para murid-muridnya dapat mencari dan menyelidiki dari mana asal dan sumber pengetahuan yang beliau sampaikan serta membahas hukum-hukun agama dengan sebaik-baiknya, seluas-luasnya dan dengan arti kata yang sebenarnya mengikuti ajaran Allah dan sunah-sunah rasulnya.
Lebih jelasnya bahwa Imam Hanafy terhadap para muridnya hanya selaku pengajar ( guru ) saja dan tidak terikat pribadi beliau. Mereka diberi kemerdekaan untuk berfikir, dibebaskan untuk memecahkan masalah-masalah yang perlu dipecahkan, bahkan sewaktu-waktu diperkenankan untuk membantah terhadap pengajaran-pengajaran dan atau pendapat-pendapat beliau tentang segala masalah yang kiranya terasa olehnya menyalahi wahyu ilahi atau berawanan dengan hadits nabi, yang disertai dengan penyelidikan akal yang bersih, murni dari segala macam pengaruh.

E. Dasar-dasar hukum Madzhab Imam Hanafi
Sebagaimana telah sedikit kami jelaskan diatas tentang cara Imam Hanafy dalam memberikan pengajaran, yaitu dengan memberi kebebasan berfikir terhadap murid-muridnya mengenai masalah-masalah baru yang belum \didapatkan dalilnya dari Al-Qur’an dan dari As-Sunah dan mereka dilarang bertaqlid dengan beliau, maka sewaktu-waktu para murid beliau yang terpandang dapat diajak bermubahatsah (bertukar fikiran) membicarakan masalah-masalah yang harus dipecahkan dan dicari alasannya dari segi Qur’an dan Sunah.
Imam Muhammad bin Hasan pernah meriwayatkan, bahwa Imam Abu Hanifah sering kali mengajak bermunadlarah, bermubahatsah, berunding dan bertukar fikiran dengan para murid atau dengan para sahabat dekat beliau, tentang soal-soal hukum qiyas, dengan cara bebas dan merdeka. Sewaktu-waktu para murid beliau membantah kepada pendapat-pendapat yang dikemukakan beliau, kemudian Imam Abu Hanifah menjawab “ saya istihsan atau mencari kebagusan” dan para murid beliaupun tunduk kepada beliau dengan perkataan istihsan tadi.
Secara garis besar bahwa dasar-dasar Madzhab Imam Hanafy adalah bersandar kepada :
1. Al-qur’an
2. Sunnah Rasulullah dan atsar-atsar yang shahih serta telah terkenal diantara para ulama yang ahli
3. Fatwa-fatwa dari para sahabat
4. Qiyas
5. Istihsan
6. Adat yang telah berlaku dikalangan masyarakat umat islam
Demikian dasar-dasar madzhab Imam Hanafy yang sebenarnya, sebagaimana telah diketahui oleh para ulama ahli ushul fiqih.

F. Para Murid Imam Hanafi yang terkenal
Menurut riwayat para ulama sejarah dikatakan bahwa Imam Hanafy mempunyai murid yang luar biasa banyaknya, namun dari seluruh murid-muridnya itu ada 4 murid yang sangat terpandang atau terkenal dan sampai sekarang masih sering disebut-sebut di kalangan umat islam, yaitu :
1. Imam Abu Yusuf Ya’qub bin Ibrahim Al-Ansori, ( lahir tahun 113 H ).
Sebelum Imam Abu Yusuf menimba ilmu kepada Imam Hanafy, pertama kali ia menimba ilmu dari Imam Abi Laila, sampai beberapa tahun lamanya di kota Kufah, namun entah apa sebabnya kemudian ia berpindah menimba ilmu pengetahuan kepada Imam Hanafy.
Pada masa itu Imam Abu Yusuf merupakan kepala murid bagi Imam Hanafy dan banyak pula membantu Imam Hanafy, beliau pula yang pertama kali menghimpun catatan-catatan dan pelajaran-pelajaran dari Imam Abu-Hanifah yang selanjutnya beliau pula yang menyiarkan pengetahuan dan pendapat-pendapat Imam Hanafy di berbagai tempat.

2. Imam Muhammad bin Hasan bin Farqad Asy-Syaibani ( 132 – 189 H )
Dari sejak usia muda Imam Muhammad bin Hasan gemar menuntut berbagai macam ilmu pengetahuan agama, kemudian dengan perantaraan para ulama irak, lalu beliau belajar dan menimba ilmu kepada Imam Hanafy.
Belum berapa lama beliau belajar kepada Imam Abu Hanifah, tiba-tiba Imam Abu Hanifah Wafat padahal pada saat itu beliau baru berusuia 18 tahun. Oleh sebab itu, beliau melanjutkan pendidikannya kepada Imam Abu Yusuf karena mengetahui bahwa Imam Abu Yusuf adalah murid Imam Abu Hanifah yang paling terkenal.
Akhirnya Imam Muhammad bin Hasan termasuk menjadi seorang alim yang besar yang banyak memiliki ilmu pengetahuan tentang hukum-hukum agama dan cabang-cabangnya, beliau pula termasuk golongan ulama ahli ra’yi.

3. Imam Zafar bin Hudzail bin Qais ( 110 – 158 H )
Pada mulanya beliau rajin mempelajari ilmu hadits, kemudian berbalik pendirian amat suka mempelajari ilmu akal atau ra’yi. Sekalipun demikian, beliau tetap menjadi seorang yang suka belajar dan mengajar, dan selanjutnya belaiu terkenal sebagai mantan murid Imam Hanafy yang terkenal ahli qiyas, tergolong seorang yang terbaik pendapat-pendapatnya dan pandai tentang mengupas soal-soal keagamaan serta ahli ibadat.

4. Imam Hasan bin Ziyad Al-Luluy ( Wafat tahun 204 H )
Beliau adalah murid Imam Hanafy yang terkenal dan pernah pula belajar kepada Imam Ibnu Jurajj dan lain-lainnya. Setelah wafatnya Imam Hanafy, beliau lalu menimba ilmu kepada Imam Abu Yusuf kemudian kepada Imam Muhammad bin Hassan setelah Imam Abu Yusuf wafat.
Imam Hasan bin Ziyad termasuk kepada golongan murid Imam Hanafy yang terkenal di bidang ilmu fiqih.

G. Wafatnya Imam Hanafi
Didalam satu riwayat dikisahkan bahwa suatu hari Abu Jafar Al-manshur memanggil Imam Abu Hanifah, Imam Sufyan Ats Sauri, dan Imam Syarik An Naha’y untuk datang dan menghadap kepadanya.
Setelah mereka bertiga menghadap baginda raja, kemudian mereka satu persatu diberikan jabatan sebagai qadhi. Imam Abu Sufyan dipercaya untuk menjadi wadhi di kota Bashrah, Imam Syarik diberikan kepercayaan untuk menjadi qadhi di ibu kota, dan Imam Abu Hanifah menolak jabatan tersebut, selanjutnya baginda raja memerintahkan mereka untuk berangkat ke kota tempat mereka harus bertugas dan memberikan ancaman bahwa “ barang siapa menolak jabatan yang diberikan oleh baginda raja akan menerima hukuman berupa cambukan seratus kali pukulan”
Imam Syarik menerima jabatan itu dan segera menempati kota tempat ia harus melaksanakan tugas sebagai qadhi, Imam Abu Sufyan menolak jabatan tersebut dan melarikan diri ke Yaman, sementara Imam Abu Hanifah menolak jabatan tersebut dan tidak pula melarikan diri kemanapun. Oleh seban itu lalu Imam Abu Hanifah dipenjarakan dan diberi hukuman seratus kali cambukan serta dikalungkan di lehernya besi yang sangat berat.
Selama menjalani hukuman penjara dan hukuman cambuk tersebut, tidak henti-hentinya Al-Manshur memberintahkan kepada Ibu Imam Hanafy untuk merayu putranya agar mau menerima jabatan sebagai qadhi, namun dengan jawaban yang tegas beliau tetap menolak jabatan tersebut hingga pada suatu hari Al-Manshur memanggil beliau dan memberikan satu gelas air yang telah dicampur dengan racun serta memaksa Imam Abu Hanifah untuk meminumnya, setelah meminum air yang diberikan oleh Al-Manshur tersebut, Imam Abu Hanifah dimasukan kembali kedalam penjara, dan pada saat itu pula dalam keadaan bersujud Imam Abu Hanifah wafat.
Imam Abu Hanifah wafat pada tahun 150 H ( 767 M ) pada usia 70 Tahun dan jenazahnya di makamkan di Al-Khaizaran, sebuah tempat pekuburan yang terletak di kota Baghdad, dan dikatakan dalam riwayat yang lain bahwa pada waktu itu pula lahirlah Imam Syafii.

1 comment: